Sanity in the Time of Covid-19

Niat untuk melanjutkan cerita-cerita trip itu gw urungkan dulu. Sebentar aja gw ingin menjabarkan apa yang saat ini gw rasakan di masa-masa sulit yang sebagian besar warga dunia alami. Gw yakin gw nggak sendirian yang merasakan ini. Ada rasa cemas dan takut yang berkecamuk di dalam pikiran, tapi ada harapan juga bahwa apa yang kita alami sekarang nantinya akan berakhir. Dengan catatan, masyarakat mengikuti anjuran/peraturan yang ada untuk (at least) melindungi serta menjaga diri sendiri, dan pemerintah transparan dengan apa yang seharusnya dilakukan untuk mengobati yang sudah terpapar dan juga mencari solusi terbaik agar virus ini nggak tersebar luas ke penjuru negeri. Bukan serta merta menyelamatkan bokong konglomerat dan pejabat yang seenaknya memanfaatkan fasilitas yang menurut gw nggak pantas aksesnya mereka dapatkan. Continue reading “Sanity in the Time of Covid-19”

Obrolan Sate Kumis (PERMANENTLY CLOSED)

Janji, abis ini gw bakal cerita soal trip liburan yang kemarinan itu — sama kirim titipannya Lia dan Mbak Nina. Tapi sebelumnya, mau cerita sedikit soal obrolan beberapa jam yang lalu dengan salah satu sahabat. Tadinya ngajak si Yuwono nge-Dominos, tapi gagal gegara si bos lagi sibuk sama kerjaan baru 😆 Akhirnya gw santai sejenak di kantor. Ngobrol sama teman-teman yang masih pada kerja di kantor sambilan ngerapihin draft blog yang nggak kelar-kelar 😀 Abis itu si sahabat langsung buzz YM. Gw ajak makan aja sekalian, ada kuliner kambing yang bikin penasaran di bilangan Jalan Blora, Jakarta Pusat. Namanya Sate Kumis. Tetapi, kalo ada yang ngeh tiap lewat Jalan Blora situ, tau nggak kalo yang namanya Sate Kumis itu ada 4 tempat? Dan gw nggak tau yang mana Sate Kumis yang asli. Sahabat gw udah browsing, katanya yang asli namanya Sate Pak Kumis 999. Pokoknya yang ada nomor 999-nya. Dan dari 4 tempat itu, cuma satu yang namanya Sate Kumis 999, dengan nama lengkap: Sate Soleh Kumis 999. Tapi sayang belum berjodoh, sate kambingnya ludes. Gw ditawarin makan sop kambing-nya *katanya sih yang enak sop kambingnya*, tapi maunya makan sate kambing. Harus sate kambing. 🙄  Continue reading “Obrolan Sate Kumis (PERMANENTLY CLOSED)”

Sepik Membawa Hadiah

Mumpung masih punya tenaga, gw mau cerita sedikit soal peristiwa hari ini. Beberapa minggu yang lalu, gw di-contact sama salah satu agency yang mendampingi event principle salah satu brand IT. Gw diundang ke acara gathering launching salah satu lini produknya. Alhamdulillah akhirnya dapat undangan bolos kantor sesaat hahaha nggak juga deng. Acara ini kan diadakan dengan tujuan untuk mengakrabkan distributor dan reseller. Jadi ya as a sales person mewakili kantor, gw dan rekan-rekan kantor lain harus beramah tamah dengan para undangan lain. Salah satu hal menarik yang gw rasakan hari ini adalah para tamu yang datang sudah dikelompokkan ke masing-masing grup, jadi nggak ada tuh yang namanya satu meja isinya satu kantor semua — no exception. Nah di meja grup gw ternyata isinya perwakilan reseller-reseller yang bukan pegangan gw. Tapi ya moso diem-diem aja? Yaudah ta’ ajak ngobrol saja. Sepik-sepik aja basa basi. Kalo dulu biasa disepikin orang, sekarang gantian nyepikin orang. EEEAAAAAKKKKKKKKKK 😆 *etapi nyepikinnya jujur loooooh..*  Continue reading “Sepik Membawa Hadiah”

Work To Get Passions

Tiba-tiba aja gw keingetan sesuatu setelah baca postingan blog suami salah satu blogger favorit gw — istrinya yang suka nulis, suaminya kadang-kadang aja nulisnya. Intinya sih nggak jauh-jauh dari passions. Long story short, di saat beliau menulis tentang hal itu beberapa tahun yang lalu, beliau masih mencari tahu apa passion-nya — which means umurnya pun sudah tidak lagi muda. Di salah satu paragraf blog-nya beliau cerita tentang adanya rasa penyesalan ketika memilih jurusan kuliah pada saat beliau masih muda. Tetapi tidak serta merta beliau terpuruk pada rasa sesalnya, karena di jurusan itu pula lah yang mempertemukan beliau dengan istrinya. Kalo soal salah pilih jurusan kuliah, gw rasa hampir semua orang pernah mengalaminya — gw sendiri pun mengalami hal itu. Kalo boleh memutar kembali waktu, gw ingin masuk jurusan kuliah di luar fakultas ekonomi. I’m not into economics, but my addiction in arithmetic and details just saved me — plus luck 😀 Tapi ya nggak perlu disesali juga. I’m glad I keep continuing what I do though I maybe don’t really like it. Kedengarannya seperti tidak bisa berpegang teguh pada prinsip, but hey, I think it’s one of the ways in finding passions. Dan biasanya sih, karena terbiasa, gw jadi suka sama apa yang gw lakukan. Pernah bekerja di tiga industri yang berbeda bukanlah hal yang mudah bagi gw, meskipun di tiga industri ini gw mendapatkan job desk yang hampir sama. Entah keberapa kalinya gw berbicara tentang passions, dan menurut gw ini juga salah satu hal yang nggak akan ada habisnya kalo diperbincangkan — sama aja kayak ngebahas masa lalu. SUPER EEEAAAAAKKKKKKKKKK.. 😆 Anyway, gw pernah nanya sama sahabat-sahabat gw, apakah mereka sudah menyukai pekerjaannya. Banyak dari mereka menjawab mereka kurang begitu menyukai apa yang mereka kerjakan, tapi dari hasilnya mereka bisa mendapatkan apa yang mereka suka. Yaaa passion kan nggak serta merta harus sesuatu yang dilakukan, tetapi bisa juga berupa apresiasi dalam bentuk benda — yang bahkan bisa dijadikan investasi juga. Dan sampai detik ini, gw masih bekerja untuk mendapatkan apa yang gw suka. Mungkin itu yang membuat gw semangat bekerja. Well, beruntunglah bagi orang-orang yang saat ini bekerja sesuai dengan passion-nya. Tapi jangan berkecil hati bagi yang belum. As a start, love what you do while you do what you love. Dan IMHO, mengutip dari quote film Door To Door, sabar dan tekun adalah faktor esensial dalam menemukan passion.

And this is what insomnia has to do with me. Selamat bekerja semuanya 😆

To Accept What People Don’t Accept :)

Hari Jumat lalu gw pergi sama salah satu sahabat karib ke daerah Kemang, sebut saja namanya Erni. Hanya mampir sebentar ke salah satu brand lokal favorit gw, abis itu langsung pulang. Macet selama perjalanan dari Jakarta Pusat ke Selatan luar biasa dahsyatnya. Padahal kalo ngelirik peta kayaknya nggak seberapa jauhnya ya. Dan umur kami juga udah nggak bisa dibohongi hahahaha 😆 — kalah sama angin cyinnnnn 😆 Sampai di rumah Erni, gw nggak langsung pulang. Emang mulut gatel pengen ngobrol sama sohib yang satu ini, akhirnya gw nongkrong di teras rumahnya Erni. Update kabar masing-masing, sampai akhirnya Erni bercerita tentang situasi yang dialaminya di lingkungan kantornya. Salah satu teman baik Erni di kantor adalah seorang lesbian bernama Didik. How did she find out? By feeling and body language it is.. Gw sendiri pernah bertemu dengan Didik, dan menurut gw tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, hanya perempuan tomboy biasa saja — tidak ada bedanya dengan gw yang juga tomboy. Erni sendiri pada awalnya tidak ingin menanggapi feeling anehnya itu. Sampai ada beberapa kejadian yang menurut Erni, “This is not right, brooo..”. Erni sendiri baru berani menceritakan hal ini pada gw karena gw iseng nyeletuk, “Si Didik temen lo yang waktu itu gw pernah ketemu, nggak doyan laki-laki yak?”. Dan Erni dengan berapi-api menceritakan semuanya kepada gw sampai dirinya merasa lega. Di satu kesempatan Erni sedang duduk bengong di meja kerjanya, tiba-tiba Didik menghampiri sambil bertanya agak mesra. Erni mulai gelisah dan saat itu juga Erni langsung bertanya, “Dik, are you straight?”. Karena Didik juga merasa Erni adalah teman kantornya yang paling dekat, Didik menceritakan bagaimana keadaan dia yang sebenarnya. Dari situ, terjawab sudah kegelisahan yang selama ini dialami Erni. Dan Erni mulai merasa agak kurang nyaman karena Didik mulai bersikap protektif terhadapnya. Well, Didik sendiri saat ini sudah memiliki pasangan dan sudah berjalan selama beberapa tahun — dan ini bukan kali pertama Didik berpasangan dengan sesama jenis. Sebenarnya Erni sendiri dikelilingi oleh beberapa teman yang memiliki ketertarikan seksual unik. So far, she just accepts it with no doubt — selama hal itu tidak membahayakan dirinya. Mungkin Erni jadi parno karena it happened in her everyday’s circle. Erni yang akhirnya sudah menceritakan apa yang terjadi kepada gw, tidak akan menjauhi Didik karena bagaimanapun juga Didik adalah salah satu teman baik di lingkungan kerjanya. Dan Didik pada dasarnya sama seperti Erni dan gw yang memiliki perasaan. Hanya orientasi seksual kami saja yang berbeda. Dan mungkin hal ini bukanlah sesuatu yang gampang diterima di masyarakat Indonesia. Di negara kita sendiri juga tidak memperbolehkan pernikahan sesama jenis. Jangankan negara, ajaran agama manapun juga tidak membenarkan tentang hal ini. Tapi apa yang bisa kita lakukan apabila hal ini terjadi di lingkungan sekitar kita? Gw bukanlah pakar dalam hal ini. Apabila gw yang ada di posisi Erni pun gw akan merespon dengan sikap yang sama. Bagaimanapun juga hal seperti ini pasti ada di sekitar kita. Tergantung bagaimana gw, Anda dan kita semua menyikapinya 🙂